photo credit: Jose A. Thompson |
Pernahkah kamu menemukan orang bicara ‘meninggi’ di depanmu? Pernahkah kamu menemukan orang yang secara sadar maupun tidak sadar meremehkanmu? Pernahkah kamu menemukan orang yang secara terang-terangan menganggapmu ‘rendah’?
SAYA PERNAH. Jika ditanya seberapa sering saya mengalaminya, saya tidak tahu pastinya. Tapi, saya beberapa kali mengalaminya. Saya pernah mendapati orang memandang saya lebih rendah daripadanya. Mungkin orang itu tidak sadar bahwa saya yang cukup peka rasa dan keadaan ini sesungguhnya tahu. Saya beberapa kali mendapati orang lain meragukan kemampuan yang saya miliki karena saya terhitung paling muda atau baru dalam hal/lingkungan tersebut. Bahkan saya pernah mendapati orang lain yang secara terang-terangan meragukan atau memandang rendah saya. Untuk hal yang terakhir ini, bukan hanya dalam bentuk gesture atau sekadar asumsi, tapi langsung dalam perkataan di depan saya.
Mengapa ada orang yang merendahkan orang lain?
Jawaban termudah yang bisa diberikan adalah orang tersebut pastinya memandang dirinya dan kualitas yang dimilikinya lebih tinggi dan lebih baik daripada orang lain. Kualitas yang dimiliki bisa dalam lingkup keluarga, materi, pendidikan, pergaulan, barang yang dimiliki, reputasi, dan lain-lain. Untuk saat ini, bahkan bisa jadi karena jumlah followers dan tampilan atau feeds media sosial. Namun, apakah memang ada aturan yang menuliskan dan merumuskan secara jelas apa dan siapa yang lebih baik? Atau mungkin itu hanya sebuah standar yang manusia ciptakan untuk membuat batas-batas dan meninggikan dirinya daripada manusia lain di sekitarnya?
Mungkin juga bisa jadi ini karena sejarah masa lalu masyarat kita yang hidup dengan sistem feodalisme yang sangat kuat. Sistem kerajaan yang membuat ada batasan-batasan yang kuat antara golongan ningrat dan rakyat jelata. Golongan ningrat yang dianggap tinggi dan golongan jelata yang dianggap sebaliknya. Kemudian, datanglah para penjajah dari negara-negara lain. Mereka memanfaatkan sistem ini. Mereka merangkul golongan atas di negeri ini untuk kemudian mempekerjakan golongan bawah. Para penjajah telah pergi. Negara ini juga sudah melalui banyak perubahan. Modernisasi ada di mana-mana. Namun, sistem kuno ini rupanya sudah mengakar dalam budaya dan jiwa masyarakat kita.
Kini, bentuk feodalisme bisa dijumpai dalam pribadi-pribadi orang terdidik dengan mental kolonial.
Mungkin, orang-orang ini menganggap dirinya lebih baik karena dirinya memiliki pekerjaan yang dianggap baik dalam masyarakat, bisa mengenakan atribut-atribut yang bisa merepresentasikan kemakmuran, bisa mengenyam pendidikan tinggi, dan lain-lain.
Saya tidak membatasi diri untuk mau dan tidak mau bergaul dengan jenis manusia tertentu. Saya berinteraksi dan berkawan dengan semuanya. Saya yakin bahwa semua manusia sama, memiliki kelebihannya masing-masing, dan berguna bagi satu sama lain. Hasrat ingin dihormati memang jadi hasrat manusiawi yang dimiliki oleh siapa saja. Namun, baikkah atau benarkah ini jika untuk bisa dihormati dan jadi diri yang bernilai, kita harus tidak menghormati dan mengecilkan orang lain?
Membuat jarak/sekat dan menganggap diri lebih baik daripada orang lain sepertinya menjadi bibit paling membahayakan bagi manusia.
Mari kita sama-sama refleksi diri apakah kita pernah melakukannya! Bahkan, kita pun mungkin bisa jadi harus berhati-hati akan rasa iba, yang notabene dianggap baik dan positif, pada orang yang kurang mampu daripada kita. Bisa jadi ini menjadi benih akan kesombongan yang bisa melingkupi diri manusia, menganggap diri lebih unggul daripada orang lain.
No comments:
Post a Comment