photo credit: Cristian Newman on Unsplash |
Bunga kamboja menghiasi sore dan tumbuh subur di sebuah bukit di tengah kota, tempat bersemayamnya warga yang kini telah jadi kenangan. Aku berjalan menyusuri anak-anak tangga untuk bersua dengan ibu yang kini tenang di tempat peristirahatan terakhirnya. Ketika kini aku sudah menetap di luar kota, kesempatan ini menjadi kegiatan wajib tiap kali aku pulang. Tempat ini tak asing sama sekali. Tiap nama yang tertulis di batu nisan kebanyakan aku kenal. Aku bahkan hafal letak-letaknya. Ketika aku terus menyusuri anak tangga, tiba-tiba saja aku terhenyak. Ada nama seseorang yang aku kenal. Yang kutahu, ia belum tiada.
---
Hanya perlu waktu lima menit untukku sampai di sebuah rumah kecil yang menempel di tembok sebuah pesantren dengan menggunakan sepeda. Aku tak pernah menolak ketika ibu memintaku mengantarkan satu rantang makanan ke rumah ini setiap siang sepulang sekolah. Bersama kedua sahabat kecilku yang sama-sama berumur sepuluh tahun, aku hanya perlu melintasi jalan setapak sejauh seratus meter dan lalu menyeberangi satu jalanan besar. Kemudian, aku akan melintasi sebuah lapangan rumput yang luas yang jadi halaman pondok pesantren. Ketika aku dan dua sahabat kecilku sampai di halaman pesantren, biasanya kami sudah berteriak-teriak memanggil satu nama.
“Mbah Idriiiisssss.”
Setelah itu, Mbah Idris biasanya akan ke luar dari rumah dan langsung duduk di kursi kecil yang ada tepat di depan pintu. Senyum tipisnya terlihat dibarengi dengan dua garis mata yang menyipit. Aku langsung memberikan rantang titipan ibu. Aku dan kedua temanku tak langsung pulang. Kami biasanya bercakap-cakap dengan Mbah Idris atau berlarian di halaman rumput luas di depan rumahnya sambil mencari belalang.
Mbah Idris tinggal di sebuah rumah kecil yang hanya berukuran 3 x 3 meter persegi. Ia tak bisa berjalan tegak. Badannya bungkuk dan ia harus berjalan dengan dibantu sebuah alat berkaki empat. Ia tak pernah tahu usianya karena ia tak pernah tahu kapan ia dilahirkan. Ia, yang mewarisi ketidakmampuan membaca dari orang tuanya, tahu waktu kelahirannya hanya sebatas perkiraan.
Ia pernah berujar bahwa ia terpisah dengan keluarganya ketika perang berlangsung di Solo. Kekacauan melanda kota kelahirannya itu dan membuatnya mengungsi di satu tempat. Di tempat pengungsian, ia berusaha mencari keberadaan keluarganya. Namun, ia sama sekali tak pernah melihat mereka, sekali pun bayangannya. Semua orang yang ia jumpai pun mengaku tak melihat keberadaan mereka. Ada pandangan menerawang dan mata yang basah ketika ia menceritakan semua kisah itu.
Mbah Idris memang punya banyak keterbatasan. Jatuh ke sumur yang ada di dekat rumah makin membuatnya lemah. Namun, ketidakberdayaan untuk berjalan tak mengurungkan niatnya untuk sering mampir ke rumahku tiap kali ia mendapatkan makanan yang ia tahu aku suka.
Ibuku selalu lari tergesa-gesa ke luar rumah ketika tahu Mbah Idris datang. Ia selalu diantar oleh tukang becak yang sama. Pak Herman namanya. Tanpa turun dari becak, Mbah Idris mengeluarkan sebungkus makanan.
“Iki roti Marie kanggo Dek Resty.”
“Mbah, kangge mbah mawon. Mboten usah repot-repot.”
Dialog itu selalu sama. Kemudian, ibu pasti akan meminta Mbah Idris untuk menunggu. Ibu mengambil beberapa makanan yang dibungkus dalam satu plastik besar dan memberikannya pada Mbah Idris. Lalu, ia juga menyelipkan uang di tangan Pak Herman. Mbah Idris pun lalu pulang dan aku mengantarnya dengan lambaian dan senyum yang riang.
Ibu selalu bilang jika Mbah Idris sering dapat makanan dari orang lain setiap harinya. Ada orang yang rutin mengiriminya biskuit Marie. Ia selalu mengingatku dan meminta Pak Herman untuk mengantarkannya ke seseorang yang ia ingat sebagai penggemar biskuit Marie.
---
Hawa makam ini tak lagi sama. Hatiku sontak berdebar. Pijakan kakiku seketika terasa goyah. Mungkin saja ada banyak orang yang memiliki nama yang sama. Namun, kali ini, tak ada tempat dan tanggal lahir yang menemani nama yang kukenal. Tanpa tunggu waktu yang lama, aku pun berjalan ke arah pondok pesantren yang hanya berjarak sepuluh meter dari makam. Aku menuju rumah kecil yang sudah setahun ini tak kudatangi. Aku mencari satu nama.
“Di mana Mbah Idris?”
Beberapa orang pesantren yang sedang menimba air di depan rumahnya pun menjawab, “Innalillahi, mbak ndak tahu Mbah Idris sedho bulan lalu?”
Mataku berkaca-kaca seketika.
“Mbah Idris sedho sebulan lalu. Pas salat shubuh, kami bangunkan dan diam saja.”
Aku pun membayangkan ia yang terbiasa hidup sendiri dan menghembuskan napas terakhirnya pun dalam keadaan sendiri. Seketika, ada barisan kenangan mengantri untuk dibuka, perjumpaan kami setiap harinya dan momen berbagi biskuit Marie yang tak mungkin aku lupa.
No comments:
Post a Comment