Film terbaru garapan sutradara Mouly Surya, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (Marlina, The Murderer in Four Acts) menjadi satu film yang saya wajibkan untuk saya tonton. Selain dari trailer dan banyak pemberitaan yang ada, film ini direkomendasikan oleh para sineas, aktor, dan filmmaker untuk ditonton. Apalagi film ini juga mendapatkan perhatian dan penghargaan di festival film di negara-negara lain. Bahkan ada seorang filmmaker senior yang mengatakan bahwa film ini memiliki kualitas yang tak diragukan dalam setiap elemennya. Dari kekuatan cerita, plot, penggarapan skenario, sinematografi, musik, wardrobe, makeup, dan lainnya. Benar saja ketika menonton, saya pun mengiyakan semua yang saya sudah baca, dengar, dan tonton tersebut.
Film yang dibagi menjadi empat babak ini menyajikan banyak hal menarik yang patut untuk dilihat, dipahami, dan direnungkan bersama. Berikut beberapanya menurut saya.
Sumba yang istimewa
Film ini mengambil setting yang indah, yaitu Sumba. Hingar bingar kota dan urban yang biasa sering dijadikan latar pengambilan film yang menggambarkan kekerasan pun ditinggalkan. Sumba yang indah dijadikan representasi yang kuat untuk menggambarkan bahwa di tempat yang lebih banyak dihuni perbukitan dan padang rumput, serta terpencilnya tempat tersebut, kejahatan bisa dengan mudahnya terjadi. Hukum rasanya tak berdiri kokoh di sana. Kejatan pun bisa dengan mudah melanglang buana.
Marlina bukan sekadar pejuang keadilan
Buat saya film ini menarik karena menyuarakan suara-suara yang sering kali tak keluar dari mulut perempuan. Tentang kekerasan dan pelecehan yang merenggut kesucian dan kehormatan perempuan.
Marlina, yang diceritakan menjadi korban pemerkosaan oleh sekawanan penjahat yang datang ke rumahnya untuk merampok, memilih tak tinggal diam. Dibunuhnya sang perampok dan dibawanya potongan kepala perampok tersebut ke kantor polisi. Menurut saya, potongan kepala yang dibawanya itu tak hanya sekadar penggambaran perjuangan Marlina dalam menuntut keadilan. Kemengan sudah didapatnya ketika ia berhasil membunuh sang perampok dan pemerkosa.
Lebih dari itu, ia ingin menentang dan mendobrak tingginya budaya dan anggapan patriarki yang ada.
photo credit: medium |
Tak segan-segan, Marlina menodongkan senjata kepada orang yang menghalanginya menuntut keadilan. Ia pun digambarkan dingin dengan hati yang sebenarnya hancur. Hati dan naluri sebagai perempuannya tak lantas membuat karakternya menye-menye. Saya rasa, kini Marlina bisa jadi pahlawan baru, sosok kuat yang bisa dicontoh para perempuan dalam menjalani hidup.
Marlina memberikan penggambaran dan pesan yang jelas akan keharusan seorang perempuan untuk memiliki keberanian untuk bertindak, kematangan dalam berpikir, dan berani memperjuangkan haknya.
Musik yang mengusik rasa dan ingatan
Musik yang dipilih sebagai original soundtrack dan juga musik latar pun indah. Musik yang ada memiliki dua rasa menurut yang saya dengar, ada musik barat yang dipadukan dengan musik timur. Gaya barat musik film cowboy pun diperdengarkan. Namun, di saat yang lain, musik ketimuran dan juga khas daerah setempat pun diperdengarkan. Musik-musiknya bisa mewakilkan suasana dan perasaan genting, gundah, dan resah.
Tentang kenyataan bahwa perempuan sampai saat ini masih jadi korban
Film ini bagaikan sebuah kontemplasi bahwa pada kenyaataannya masih banyak pemahaman jika perempuan lemah dan bisa dijadikan korban. Marlina jadi simbol pemberontakan akan pemahaman itu. Hatinya sakit, namun dirinya lebih memilih untuk melawan dan menyuarakannya.
Di tengah kisah-kisah gelap yang terjadi, sempilan-sempilan humor kering pun tampil di scene-scenenya yang jika dimaknai lebih dalam, dihadirkan bukan tanpa maksud. Humor-humor yang dihadirkan menggambarkan penggambaran lebih akan budaya setempat, bagaimana gambaran masyarakat di sana, dan menyisipkan ironi yang bisa kita pelajari bersama.
Buat saya, film ini jadi salah satu film terbaik yang saya tonton tahun ini. Selain kisahnya yang bagus, film ini terbilang unik dan mengayakan pikiran. Dengan sinematrografi yang indah, film ini memberi warna baru di perfilman Indonesia.
Dan yang lebih manisnya lagi, film ini meninggalkan ironi yang siap untuk terus dipikirkan, dipertanyakan, dan kemudian diperjuangkan. Bahwa perempuan tidak lemah dan bukan sasaran kejahatan.
No comments:
Post a Comment