Yogyakarta, Februari 2007
Rumah Eyang Uti di Palagan, Yogyakarta selalu nampak bersahabat dengan Aisha sejak dia kecil hingga sekarang. Sejak dia resmi menyandang status yatim piatu ketika dia masih berusia belia. Lima tahun. Kecelakaan mobil itu seketika membuatnya menjadi yatim piatu dan hidup seperti tak sempat memberikan kesempatan kepada orangtuanya untuk memberinya kakak atau adik dalam hidupnya. Tak ada saudara terdekat yang mampu berbagi kesedihan di kala merindukan papa dan mama selain Eyang Uti. Eyang Uti satu-satunya keluarga terdekat yang mampu memberikan seratus persen hidupnya untuk Aisha. Di usianya yang senja, Eyang Uti selalu nampak cekatan dan bugar.
Jakarta seketika ditinggalkannya. Semua demi sebuah kehidupan baru. Kehidupan anak berusia lima tahun yang masih membutuhkan orang dewasa yang merawatnya. Dan Jogja jadilah destinasinya. Bersama Eyang Uti di Jogja, dia merajut benang-benang kehidupan baru. Semuanya baru. Semuanya berubah.
Tapi, rumah Eyang Uti selalu nampak sama hingga saat ini. Sampai Aisha berusia dua puluh dua tahun pun, semuanya memiliki hawa hommy yang tak akan pernah terkalahkan dengan tempat mana pun. Aroma kenangan masa kecilnya. Dan keluarga sesungguhnya. Dimana dia dapat meluapkan segala perasaan yang ada.
Halaman di depan rumah yang selalu ditumbuhi rumput-rumput Jepang. Tanaman-tanaman Eyang Uti yang selalu beraneka macam. Dari pohon mangga, bunga sepatu, pohon palem, pohon pakis, bunga kamboja Jepang, dan masih banyak lagi. Eyang Uti memang gemar bercocok tanam. Rumah tua khas Jawa dengan tiang-tiang yang cukup tinggi dengan teras di depannya. Jendela-jendelanya pun masih dengan gaya arsitektur lama, berbingkai dan berjendela kayu. Aroma khas rumah Eyang Uti bahkan masih sama. Hingga siang ini. Aroma bedak dan minyak rambut Eyang Uti yang sudah bertahun-tahun tetap sama.
Hari ini adalah hari terakhir Aisha ada di Jogja. Besok pagi, dia harus segera kembali ke Jakarta. Liburan serasa sangat cepat berakhir dan dua hari lagi perkuliahan segera dimulai.
“Nduk, maem dulu yuk. Eyang Uti masak sayur asem, sambel terasi, sama tempe goreng kesenenganmu,” Eyang Uti keluar dari dapur dengan seragam daster kebanggaannya kalau sedang memasak.
“Iya, Eyang. Sebentar. Aku lagi coba cari buku-buku yang mau ku bawa ke Jakarta.”
“Buku apa tho, nduk?”
“Ya, ada macem-macem, yang.”
“Wes tho. Maem dulu. Nyarinya entar lagi.”
“Bentar, yang. Nanggung.”
Semua rak-raknya dia jelajahi. Beberapa buku cerita yang dia tulis dulu semasa SMA berhasil dia temukan. Tapi, buku-buku yang dia sudah dia kepak di dalam kardus pun kembali dia bongkar. Satu buku yang paling dia cari tak juga kunjung dia temukan. Dia pun dengan tergopoh-gopoh berjalan ke ruang makan dengan membawa setumpuk buku dengan sedikit cemberut.
“Yang, eyang liat bukuku yang sambulnya kaya kertas karton itu nggak?”
Eyang Uti berusaha berpikir dan mengingat. Baru saja Eyang Uti mau menjawab, Aisha sudah kembali bertanya, “Sampulnya warna coklat, ada tulisan ‘Adventure Book’ pake crayon.”
“Edvenchur Buk kie tulisane piye?” Eyang Uti menyahut dengan air muka yang menunjukkan kebingungan.
Aisha pun palah jadi tersenyum karena kebingungan Eyang Uti dan berusaha mengeja, “A-D-V-E-N-T-U-R-E spasi B-O-O-K.”
“Owalah, yang kaya album foto itu tho, Sha?”
Aisha pun senang dengan petunjuk yang mencerahkan dari Eyang Uti karena dia sudah payah mencarinya kemana-mana.
“Eyang simpen di lemari Eyang, Sha. Habis sayang kalo ditaruh di kardus. Mau di taruh di rak bukumu juga nggak cukup. Bukunya kegedean.” Eyang mulai berjalan meninggalkan ruang makan. Suaranya pun lambat laun meninggalkan ruang makan dan menuju kamarnya. Tak sampai lima menit, Eyang Uti sudah berada di hadapannya lagi dengan membawa buku yang sedari pagi dia cari.
Dengan helaan napas panjang dan semburat senyum lega, Aisha memeluk Eyang Uti, “Eyaaaang, bikin bingung Aisha aja. Alhamdulillah ketemu ya, yang.”
“Ndak ilang kok, Sha. Cuma Eyang simpen biar ngga rusak dan ilang,” Eyang berbicara dengan logat Jawanya yang kental sembari memberikan buku itu kepada Aisha.
Aisha mengusap sampul buku itu. Tak ada debu sedikit pun. “Buku ini memang benar-benar Eyang Uti jaga,” pikirnya.
Beberapa menit kemudian….
Masakan Eyang Uti memang tiada yang menandingi. Aisha pasti akan selalu merindukannya. Sayur asemnya ‘mak nyus’ kalau kata Pak Bondan Winarno. Tempenya sering digoreng tanpa tepung dan sambel terasinya selalu disajikan di atas cobeknya.
“Eyang,…” belum sempat Aisha melengkapi kalimatnya, matanya sudah berkaca-kaca.
“Kenapa, Sha?” Eyang Uti meletakkan sendoknya dan kini tangannya melayang ke atas punggung tangan mungil itu. Mengusapnya dengan sentuhan hangat.
“Aku masih pengin di sini.”
“Eyang tahu. Kamu bisa pulang kapan saja kamu mau. Selesaikan urusan kuliahmu. Maaf Eyang Uti ndak bisa temani kamu urus perlengkapan wisuda.”
“Tapi, Eyang Uti dateng, tho di wisudaku?” Aisha berusaha menghentikan air yang sudah menggenangi permukaan matanya menetes dari ujung matanya yang besar.
“Tentu, nduk. Kalo Eyang Uti dikasih sehat dan panjang umur, Eyang pasti dateng bulan depan. Wong kamu ujian skripsi aja Eyang pengin dateng. Apalagi kamu diwisuda.”
Air mata Aisha tak lagi terbendung. Akhirnya air matanya menetes juga. Eyang Uti seketika memeluknya dan mengelus rambut sebahunya.
“Sha, besok dandannya yang cantik yaa. Kali-kali Eyang pengin liat kamu ndak secuek ini. Rambutnya ditata yang ayu. Wong kamu tuh sebenernya ayu. Trus kalo kaca matamu mau dipake, diganti dulu sama yang baru. Ntar Eyang kasih uang buat beli yang baru yaa.”
Kali ini Aisha tak lagi mampu menolak apa yang diinginkan Eyang Utinya, satu-satunya orang yang terpenting dalam hidupnya saat ini. Dia pun hanya mampu mengangguk. Melegakan hati malaikat yang sedang di hadapannya. Eyang Utinya. Dia pun memeluk malaikatnya itu. Perut besarnya selalu membuatnya merindu untuk memeluk. Apalagi aroma bedak dan minyak rambutnya yang selalu mengingatkannya akan masa kecilnya.
Sore harinya….
Hujan sore itu membuat suasana tentram dan mendamaikan. Seketika Aisha teringat akan sesuatu yang datang dari masa kecilnya. Di detik yang sama itu juga, dia bergegas ke halaman depan rumah. Dari teras rumah, dia berusaha memandangi satu benda bersejarah di masa kecilnya. Benda itu ada di pohon buah mangga di depan rumah. Rumah pohon. Seketika itu pula, dia tersenyum. Matanya kembali berkaca-kaca.
Dia pun mencoba mengambil buku petualangannya yang baru ditemukannya siang tadi. Sambil mendudukkan badannya ke kursi rotan yang ada di teras rumah, dia menghelakan napas yang cukup panjang dan hanya memandang sampulnya selama beberapa menit. Teringat bahwa dia membuat tulisan di sampul itu dengan crayon yang dibelikan oleh Eyang Uti ketika dia pertama kali masuk sekolah di Jogja. Sampulnya bertuliskan ‘Adventure Book’ dengan dekorasi gambar buku, pensil, rumah pohon, matahari, awan, hujan, kamera, dan Superman.
Dia tak mampu lagi menahan dirinya untuk membuka halaman pertama. Sekian lama dia menunggu saat itu. Halaman pertama pun dia buka. Judul pertama yang dia tulis adalah “Hari Pertama di SD Kenari”.
Seketika Aisha tersenyum. Entah itu tergolong senyum apa. Yang jelas dia tahu hatinya terasa hangat seketika membaca tulisan-tulisan itu lagi. Hatinya kembali berpetualang di dimensi yang berbeda, dimensi kenangan-kenangannya di masa lalu.
(to be continued)
No comments:
Post a Comment