Sudah beberapa bulan ini, banyak ide dan gagasan yang hanya mengendap di benak tanpa tertuang pada sebuah karya apapun. Tidak tulisan, tidak narasi, tidak syair, tidak nyanyian yang biasanya secara produktif dihasilkan. Dulu, ketika dalam diam, otak tak hentinya berkreasi seni yang seadanya bisa dihasilkan. Semuanya cukup membuat hati merasa impas atas waktu yang digunakan untuk berkreasi. Dulu, diam dibutuhkan untuk sebentar merenung dan kemudian bagaikan ujung korek api yang tergores sedikit permukaan api, banyak ide bermunculan secara susul menyusul. Kini, dalam diam tak selalu berarti sebuah produktifitas waktu dan ide. Diamku kini membuat kepala hangat dan memanas. Rasanya berat memikirkan banyak hal. Sebuah hidup yang makin berat dijalani. Dan hidup tidaklah seindah yang kita bayangkan.
Kapasitas kepala ini makin sempit berkreasi akan hal-hal seni seperti dulu. Kepala ini sudah cukup terbebani dengan banyak hal yang berhubungan dengan hal yang lain. Ketika waktu istirahat datang, hati dan tubuh ini rasanya hanya ingin memilih untuk direhatkan sejenak tanpa memikirkan yang berat. Kini, mulut ini pun makin banyak diam, tak sesering dahulu berceloteh ria tentang banyak hal dengan orang-orang serupa denganku. Kini, mulut ini pun lebih banyak memilih untuk diam. Yang ku harapkan diamku menjadi emas dengan keadaan sekarang. Meskipun aku tahu bahwa diam tak selamanya emas. Tapi, untuk sekarang diamku ini menjadikan diri lebih berisi dan beraura positif. Ku harap…. Bukannya menjadi yang banyak bicara dan akan menghasilkan lebih banyak masalah dan membuat hati tak lagi nyaman.
Seperti sebuah judul buku yang kini sedang ku baca ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin’. Angin tak pernah geram terhadap angin yang membuatnya jatuh. Maknanya lagi-lagi luas, tak sebatas pada satu pokok pembicaraan. Dalam diamku ini, aku tak pernah membenci semua yang menyebabkan aku diam dan membuatku terjebak pada situasi dimana sebaiknya aku diam. Isi hati dan suara hati ini hanya ingin ditranslasikan secara jujur oleh sang pemilik hati dan pikiran. Dan yang jelas, Tuhan tahu semuanya. Jika aku memang daun itu, aku tak akan pernah mempersalahkan dan membenci angin yang membuatku jatuh dan terdiam. Aku menerimanya, walaupun isi hati ini terus berteriak ingin dibebaskan dan dibiarkan bersuara seperti seharusnya. Daun ini akan bertahan semampu dia bisa. Jika tubuh yang lemah ini tak lagi dapat bertahan, lepaskan saja semuanya…. Agar lega, agar jujur, dan tak ada lagi yang mengganjal….. Dan diam ini akan menjadi emas untukku. Untuk hidupku dan kebaikanku….
(Lagi-lagi, aku menuliskannya dalam diam, tanpa banyak yang tahu. Tapi, kini aku mau beberapa orang tahu.)
No comments:
Post a Comment