Dee, biasa aku memanggilnya. Aku mengenalnya di rumah kos yang pernah ku tinggali. Kesan pertama aku berjumpa dengannya sudah tidak biasa karena dia memang bukan gadis yang biasa. Dia gadis yang luar biasa. Itu dari sudut pandangku dan entah apa pendapat orang lain tentangnya, ketika bertemu dengannya dan melihatnya.
Dia tidak seperti banyak dari kita yang bisa membaca dan melihat segala yang ada di dunia. Melihat matahari terbit dan terbenam, melihat hujan, melihat daun yang bergoyang karena terpaan angin, melihat siang dan malam, melihat ibu yang melahirkannya. Dia tak dapat melihat semua itu. Dia bahkan tak memiliki bola mata yang indah yang dapat mempercantik rupanya dan menghidupkan jiwa yang ada dalam dirinya. Dia hanya dapat menghapal jejak langkah dan suara seseorang, menghapal letak dan jalan, menerka dan meraba sesuatu dengan tangannya maupun dengan tongkatnya, dan menggunakan perasaannya yang sangat peka untuk mengetahui sesuatu. Ibunya mengalami kecelakaan saat mengandungnya dan itu mungkin salah satu sebab mengapa dia tak dapat melihat. Begitu dia pernah bercerita padaku tentang kebutaannya.
Aku, yang sebelumnya tidak pernah mengetahui sama sekali kehidupan seseorang dengan keterbatasan sepertinya, jadi mengetahui banyak hal yang dapat membuatnya terus bertahan hidup mandiri sampai saat ini. Dan semuanya membuatku tercengang, kagum, dan terheran-heran. Kebiasaanya, kepekaannya, dan daya ingatnya.
Pertemuan pertamaku dengannya juga membuatku tak mudah melupakannya. Saat itu dia untuk pertama kalinya menengok kamar yang akan ditinggalinya di kos barunya pada saat itu. Dan karena kamarku berada di dekat kamar barunya, aku menyapanya dan mengajaknya berkenalan. Dan saat itulah aku tahu bahwa namanya adalah Diana dan dia juga mengetahui namaku. Dan pada saat itu hal pertama yang membuatku terheran-heran adalah jalannya sangat cepat seperti layaknya orang normal menuruni tangga karena kamar kami memang berada di lantai dua. Tak lama setelah itu, dia pergi dan tak tahu kapan akan datang lagi.
Selang beberapa bulan, dia datang dengan beberapa temannya yang membantunya membawa barang-barangnya dan menatanya di kamar kos barunya. Dan pada saat itulah, kami berdua bertemu lagi. Ketika aku melintasi kamarnya, aku berniat untuk menyapanya. Tapi, seorang temanku yang lain mengajakku mengobrol terlebih dahulu dan mungkin Diana mendengarnya. Niatku untuk menyapanya jadi tertunda karena dia menyapaku terlebih dahulu. Ternyata dia masih ingat betul namaku. Aku pun terheran-heran kembali dibuatnya karena sudah beberapa bulan kami tidak bertemu. Dia juga tak pernah melihatku sama sekali. Kami hanya bertemu dan berkenalan. Pertemuan yang pernah berlangsung hanya sekali dan sangat singkat. Beberapa menit saja seingatku Dan kemudian aku memberanikan diri untuk bertanya dengan nada setengah bercanda, “Kamu masih ingat namaku?”
Dia pun menjawab dengan sederhana, “Masih mbak. Suara mbak khas dan paling gampang diingat di kos ini.” Kalimat itu sangat berkesan sekali buatku dan masih secara utuh kuingat rangkaian kalimatnya sampai dengan detik ini. Dan buatku, memiliki teman dengan keterbatasan sepertinya merupakan pengalaman baru. Pengamatan-pengamatan kecil yang disengaja maupun tak disengaja jadi sering ku lakukan demi untuk mengetahui bagaimanakah kehidupannya.
Hari-hari pertama dia tinggal satu atap denganku, aku cukup dibuatnya bertanya-tanya bagaimana dia dapat menata dan merapihkan kamarnya dengan sangat rapih dan bersih. Bahkan lebih rapih dan lebih bersih dari pada kamar teman-teman lain yang tidak memiliki keterbatasan sepertinya. Kemudian, aku juga bertanya-tanya dalam hati bagaimana dia dapat mengetahui jam, dapat memadumadankan warna pakaian yang dia pakai, dapat mengikuti kuliah dengan baik, dan melakukan segalanya dengan baik.
Aku selalu mengurungkan diri untuk bertanya karena aku takut dia mengira aku tidak sopan. Tapi, tanpa kalimat tanya yang terlontar untuknya, pada akhirnya jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu muncul satu persatu seiring kami sering berkomunikasi. Setiap 30 menit sekali, aku sering mendengar bunyi suara seorang pria yang selalu menunjukkan jam yang berasal dari jam yang dia punya di kamar. Suara pria itu terdengar seperti suara soerang penyiar radio yang bersiaran di tahun 80-an sampai 90-an. Dan ternyata jam itulah yang selalu memandunya untuk mengetahui jam. Kami, teman-teman satu kos juga jadi memiliki budaya baru setelah kedatangannya, yaitu memberi tahunya ketika kami memindahkan barang-barang yang memang milik bersama. Kegiatan itu kami lakukan demi memudahkannya untuk mengakses benda-benda fasilitas kos yang dapat kami gunakan bersama. Sering juga dia bercerita padaku tentang banyak hal yang dia lakukan dengan cara ‘khususnya’. Dia juga mengajariku membaca dan menulis Braille.
Jarang sekali dia merepotkan orang di sekitarnya kecuali meminta orang di sekitarnya untuk membacakannya sesuatu yang tidak ditulis dengan huruf Braille atau membedakan uang yang akan dia gunakan. Dia dapat pergi ke berbagai tempat sendiri, mengurus dirinya sendiri, bermain berbagai alat musik, dan tetap menjadi gadis yang berprestasi ketika belajar di sekolah umum.
Pernah suatu hari kami teman satu kos pergi berlibur ke sebuah air terjun di daerah Magelang dan kami harus naik turun gunung terlebih dahulu sebelum pada akhirnya dapat menikmati keindahan air terjun tersebut. Dan Diana ikut dalam rombongan itu. Semua teman banyak yang berkeluh kesah karena medan yang harus kami lalui di luar prediksi kami. Kami harus naik turin batu-batu besar dan jalan yang berpasir. Dan sialnya, sebagian besar dari kami salah kostum. Bukan sepatu atau sandal gunung yang kita gunakan, melainkan sandal yang biasa kita gunakan untuk sekedar pergi ke mall dan tempat sejenisnya, yang notabene tempat nyaman untuk bersantai. Alhasil, tak jarang sandal kami putus di tengah perjalanan. Kami yang dapat melihat saja terus berkeluh kesah selama di perjalanan, apalagi Diana yang tak dapat melihat dan berbekal sebuah tongkat sebagai alat batu jalannya. Kami pikir pada saat itu. Jadi kami pun membatunya melewati medan yang cukup membuat lelah pada saat itu. Tapi, ternyata dugaan kami salah. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya yang menandakan dia sedang berkeluh kesah. Dengan semangatnya, dia terus menaklukkan medan yang sulit itu. Dan dia dapat bertahan sampai akhir. Kami pun menjadi berkaca pada diri sendiri. Kami yang diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta seharusnya dapat lebih kuat darinya dan tidak mudah mengeluh.
Pernah suatu sore, aku mengantarkannya ke kampus menggunakan sepeda motorku. Saat itu langit sedikit mendung dan Diana langsung berkata padaku, “Langitnya mendung ya mbak?” Seketika itu aku pun langsung berujar, “Iya, kamu bisa tahu?”
“Bisa mbak. Coba mbak tutup mata dan tebak apakah di luar sana terang atau gelap. Itu rasanya kurang lebih sama seperti itu.”
Benar. Mungkin seperti itu. Seketika aku terdiam dan tak dapat berkata apa-apa. Entah apa yang sedang ku pikirkan. Entah pula itu berpikir atau merenung. Yang jelas, mulai saat itu aku mulai memahami bahwa Sang Pencipta memberikan kita segala yang ada dalam diri kita maupun di luar diri kita untuk dapat digunakan maupun dieksplorasi. Entah itu wujud yang kasat mata seperti bagian tubuh kita maupun yang tak kasat mata seperti perasaan kita, kata hati kita, intuisi kita. Nyawa dan nafas saja menurutku adalah sebuah kesempatan dan berkah yang luar biasa besar yang diberikan olehNya kepada kita semua. Yang menentukan berikutnya adalah kemauan. Kemauan untuk bertahan hidup dan melangkah ke arah yang lebih baik.
Kini aku menyadari dan membuaktikan ucapan seorang teman hatiku bahwa setiap orang adalah juara bagi dirinya masing-masing. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan pada dirinya masing-masing. Tergantung dari mana kita melihat dan mengukurnya. Sudah sepantasnya kita terus bersyukur atas segala yang diberikan olehNya untuk kita. Gunakanlah dan kembangkanlah. Bukannya kita semua diberikan waktu yang sama setiap harinya untuk menggunakan dan mengembangkannya?
Diana telah membuktikannya. Dia, yang memiliki keterbatasan saja bisa melakukan banyak hal yang luar biasa. Bahkan, kadang aku membayangkannya saja sulit. Asal ada kemauan dan usaha yang besar pasti bisa. Jika Sang Pencipta mengizinkannya.
Jika saja kamu dapat melihat indahnya sore yang mendung itu Dee…. Tapi, aku percaya dengan rasa, tanpa melihatnya mungkin ada sensasi yang sama indahnya dari pada melihatnya.
No comments:
Post a Comment