Kau selalu berdiri di pijakan yang sama. Setiap senja. Kau mencintai lukisan senja yang kau pandangi dari bukit itu. Memandanginya sampai kau bosan. Hingga cahaya tak lagi menerangi seluruh isi kota yang bisa dengan bebas kau pandangi. Kau selalu tampak sendiri. Tak ada jejakku di sisimu. Memandangi yang kau cintai disana. Dan aku hanya mampu memandangimu dari kejauhan, di balik punggungmu. Dari balik punggungmu, lukisan senja saat ini tampak sempurna. Seperti lukisan senja dengan sosokmu yang terlukis di dalamnya. Dan hanya di bukit senja ini aku mendapatinya.
Kulihat kau senja itu hanya mengenakan celana belel kesayanganmu, kaos putihmu, dan membiarkan tubuhmu sedikit kedinginan dengan membebaskan tubuhmu dari balutan jaket tebalmu. Kau berjalan menunduk dan sesekali menengadahkan kepalamu, menikmati aroma senja di bukit senjamu. Kau melangkahkan kaki-kaki kecilmu menuju satu pijakan. Pijakan itu. Posisi yang sama. Dimana kau akan melakukan ritual senjamu itu. Layaknya sebuah prosesi pelampiasan rindumu pada cintamu. Senjamu. Dan hanya dari atas bukit senja semuanya tampak syahdu. Kau mampu berlama-lama memandanginya.
Sepertinya kau selalu punya keasyikan tersendiri ketika saat itu tiba. Tak terbilang lagi ribuan waktu kau habiskan untuk melakukan ritual senjamu itu.
Ketika saat itu tiba, aku hanya mampu menemanimu. Tanpa menirumu untuk melakukannya, aku merasakan sensasi itu. Aku tahu rasamu. Aku tahu ritual itu merupakan sebuah reuni kecilmu pada kasihmu terdahulu. Gadis mungilmu yang pernah mengisi hari-harimu. Aku akan menghargainya. Membiarkanmu puas melakukan ritual itu.
Memandangi surya yang mulai pergi menginggalkan bumi dan segala isi kota yang bisa kau tanggap oleh matamu yang membiru. Angin berderu seolah ingin menemanimu.
Tak ada yang lebih pilu disitu selain diriku. Aku bukanlah senja yang kau pandangi dan kau rengkuh sepenuhnya dengan hatimu saat itu. Yang mampu kupandangi hanyalah sebatas punggungmu. Dan ketika saat itu tiba, kuhanya mampu berdiri di kejauhan. Aku tahu kau tahu aku ada disana. Menantimu….
Jika aku bisa berandai-andai dan dalam beberapa menit bertransformasi menjadi seorang pelukis yang mampu melukiskan perasaan dan pikiranmu, aku akan melukis wajah seorang gadis yang terus membayangimu. Membayangi setengah bahkan tiga perempat hidupmu. Hingga membuatmu sering tak dapat berpikir dengan logikamu. Dan lukisan itu yang sepertinya selalu nampak menemanimu ketika kau melakukan ritual senjamu itu.
Gadis yang tanpa daya magis pun dapat menyihirmu, mampu membuatku yang selalu menemanimu tampak tak berarti di hadapanmu. Mungkin akan tampak berarti jika kau membutuhkan afeksi dari seseorang. Selebihnya, kau akan kembali terhipnotis dengan pesonanya. Pesona dalam masa lalumu. Dan sepertinya kau masih belum bersahabat dengan sejarah, masa lalumu.
Saat jingga mulai nampak dan angin juga semakin memburu, kau akan menyudahi segala ritual itu. Kau akan mulai melangkahkan kaki-kaki kecilmu meninggalkan pijakan itu. Berbalik menginggalkan lukisan senjamu. Kau akan kusambut dengan senyumanku. Dan suaraku akan memanggilmu. Kini jejakku ada di sampingmu. Kini yang kurasakan adalah haru yang membuatku membisu. Ingin kurengkuh tubuhmu dan menemanimu selalu saat kau melakukan ritual itu sampai kau bosan melakukannya. Dan karena memang kau memintaku untuk menunggumu, dan melarangku untuk menginggalkanmu.
Ketika sejurus kemudian kau melakukannya lagi. Menggenggam tanganku erat. Ingin kukatakan, kuingin tak lagi menantimu dari jauh dan hanya mampu melihat punggungmu ketika kau melakukan ritual senjamu itu. Aku ingin kau tetap berdiri di tepi bukit senjamu itu suatu hari kelak, melakukan ritual senjamu itu untukku. Memandangi segala sudut lukisanmu untuk melepas rindumu padaku. Karena jejak-jejak kakikulah yang saat ini menemani jejak-jejak kakimu. Bahukulah yang menopang kepalamu ketika kau bersedih. Genggamankulah yang selalu merengkuhmu disaat kita berjalan beriringan.
Aku menanti tapi tidak sampai membuatku mati. Yang ada hanya hati pilu dan suara parau dari hatiku yang selalu meneriakimu untuk bangkit dan bersahabat dengan sejarah. Dan kemudian menenun benang-benang berbagai warna yang mampu mencipta senyum. Pertanda kehidupan baru.
Tetapi, pilu dan parau itu tak ada lagi gunanya. Kau hargai semuanya dengan kembali melukis seseorang baru di lukisan senjamu itu. Yang kutahu itu bukan aku. Dengan segala daya, aku meyakinkan diriku, lukisan itu tetap tidak berubah menjadi sosokku. Banyak waktu kuhabiskan untuk tetap menemanimu untuk melakukan ritual senjamu. Semuanya kulakukan hanya demi meyakinkan diriku sendiri tentang sosok yang ada dalam lukisan senjamu. Lagi-lagi, aku harus menerima kenyataan jika itu adalah sosok yang terlukis bukan sebagai rupaku. Dan pilu kembali mengetuk pintu-pintu hatiku.
Hingga aku tak henti-hentinya bertanya padamu siapa sosok itu. Aku bahkan tak pernah berusaha menghapus lukisan kesayanganmu itu, tapi kau melarangku untuk menghapusnya. Apakah keingintahuanku menunjukkan bahwa aku ingin menghapusnya? Dan kali ini bukan hanya pilu yang mengetuk pintu-pintu hatiku, tetapi luka yang mendobrak ingin memasuki ruang hatiku.
Bukankah kau tahu sekuat dan setegar apapun hati wanita, dia memang tercipta berhati rapuh jika tersakiti. Kali ini, untuk terakhir kalinya, aku ingin mengatakan padamu banyak hal tentang bagaimana caraku menyayangimu.
Aku menyayangimu dengan cara membebaskanmu. Aku sudah memberikanmu banyak waktu dan kesempatan untuk menengok sejarahmu. Aku tetap menanti walau aku tahu yang ada di setiap partikel dalam pikiranmu bukan aku. Tapi, kali ini kau tak menghargai pengorbananku. Dan perlu kau tahu bahwa ini juga merupakan sebuah ‘pengorbanan’ yang kukira lebih bermakna dari pada aku hanya sekedar mengorbankan benda ataupun makhluk hidup lainnya. Karena yang kukorbankan adalah perasaanku. Perasaan dimana aku mengasihimu.
Dengan mengucap segala doa-doa terbaik untukmu, aku berharap kau menyayangi sesosok dalam lukisanmu itu dengan setulus hati. Kau pada akhirnya memilihnya bukan karena aku kuat untuk ditinggalkan dan tidak dipilih. Kau memilihnya dan meninggalkanku karena kau memang dengan tulus menyayanginya. Terima kasih atas segala kenangan yang mampu membuatku tersenyum, tertawa, dan menangis. Dan maaf jika aku tidak dapat berluas hati dan sepenuhnya terus menemanimu beritual di kala senja.
Dan melukiskanmu saat senja akan menjadi kenangan yang pernah memilukan dan menguatkan hatiku pada akhirnya.
(Terinspirasi dari sebuah kisah cinta seorang sahabat dan ‘Aku Ada’ oleh Dewi Lestari. Tulisan ini kutulis untuk mewakili perasaan seorang sahabat yang kini tidak sedang dalam keadaan bahagia. Dengan ini, kasihku padanya kusampaikan.)
No comments:
Post a Comment