Beberapa tahun sudah berjalan dan kenangan-kenangan tentang masa kecilku akan selalu menjadi juaranya. Kenangan-kenangan masa kecil selalu mendatangkan perasaan dan ekspresi yang mengagumkan buatku. Perasaan yang tidak biasa, terharu, bahagia, maupun rindu. Sudah tak berbilang lagi kenangan-kenangan manis itu dalam benakku. Dari kenangan yang paling tidak menyenangkan dan pengalaman yang paling menyenangkan. Dan ketika aku mengingat kenangan-kenangan itu satu persatu, yang tersirat dan mendarat dalam benakku adalah setiap tokoh yang ada di dalamnya. Orang-orang yang menyumbangkan kenangan-kenangan itu dalam setiap halaman dalam buku kenanganku. Sahabat-sahabat kecilku adalah sebagian dari tokoh-tokoh itu. Kini aku membuka dan membaca lagi halaman-halaman di buku kenanganku yang sekian lama tersimpan di dalam hati dan pikiranku. Buku kenangan yang sudah lama tidak ku baca. Dan kini ada perasaan yang mengusikku untuk kembali membacanya.
Sudah terlalu lama aku menyimpan nama itu dalam kenanganku. Sedikit menyesalkan karena aku sedikit melupakan kisahku bersamanya. Orang yang tulus, yang biasa ku panggil ‘Mbah Idris’. Dia tak punya hubungan darah denganku. Tapi, sayangnya padaku sangatlah besar. Aku menempatkan dia sebagai seorang sahabatku, bahkan sudah kuanggap sebagai nenekku. Dia yang telah memberikan aku sebuah pelajaran berharga tentang sebuah ketulusan dan berbagi kasih di tengah segala keterbatasan yang kita miliki.
Dia memang tak seperti nenekku yang bahkan ketika sedang sakit parah masih melakukan hobi membacanya. Dia bungkuk, tua, lemah, dan sedikit berbicara. Dia bukan hanya sulit berjalan, tapi dia tidak bisa berjalan. Tanpa besi berkarat yang ku tahu adalah alat bantu berjalannya, dia hanya bisa berjalan dengan merangkak. Dia selalu memakai baju kebaya dan kain ‘jarit’ yang sudah lusuh. Rambut putihnya selalu diikat dengan karet gelang yang sudah tidak terpakai. Kulitnya putih dan sudah keriput. Dengan segala keterbatasannya, mungkin banyak orang yang meremehkannya. Tapi, aku tahu dia memiliki hati yang baik, penyayang, dan tulus.
Hanya membutuhkan waktu sekitar lima sampai sepuluh menit untuk sampai ke rumahnya dengan menggunakan sepeda ketika aku berumur delapan tahun. Aku sering ke rumahnya bersama dua sahabat kecilku, mas Damar dan mbak Ucik. Kami selalu menjadi kurir bagi mama kami untuk mengantarkan makanan untuk mbah Idris di sore hari. Dengan sekuat tenaga kami mengayuh sepeda. Kami selalu bersemangat untuk mengantarkan makanan karena kami juga mengharapkan sebuah imbalan yang menurut kami sangat menyenangkan pada saat itu, yaitu dapat bermain di sebuah lapangan berumput hijau yang terletak di depan rumah mbah Idris. Ritual berguling-guling di hamparan rumput itu pun harus kami lakukan setiap kali kami berkunjung kesana, kecuali ketika hujan turun. Mama kami pasti akan berwajah masam ketika kami pulang dengan dekilnya.
Yang akan kami lihat setiap kali kami datang adalah seorang nenek tua yang sudah tak bisa berjalan sedang duduk di kursi kecilnya yang dia letakkan di depan pintu rumahnya. Dan dia selalu mengembangkan senyumnya untuk menyambut kedatangan kami. Kami pun turun dari sepeda, berlari tergopoh-gopoh membawa plastik makanan ke arahnya dan berteriak, “Mbah Idriiiiiiiissssss….”
Rumahnya kecil dan menempel dengan dinding sebuah pondok pesantren. Rumah kecilnya jauh dari kata ‘layak’. Mungkin hanya berukuran 2 x 3 meter. Dinding-dindingnya terbuat dari papan yang aku yakin itu bahkan tak bisa melindungi tubuhnya dari dinginnya angin malam. Dindingnya yang terbuat dari papan sudah berwarna kusam. Warnanya sudak tak lagi putih. Warna putihnya kini sudah berkombinasi dengan coklat hasil cipratan air tanah dan beberapa pemandangan papan yang sudah mulai rapuh karena serangan rayap. Semua barang-barangnya tak tertata rapih karena memang dia tak memiliki ruang yang cukup untuk meletakkan semua harta bendanya.
Di sisi dekat tempat tidurnya banyak tersimpan baju-bajunya yang ditumpuk kurang rapih dan beberapa piring makanan yang mulai dihinggapi lalat. Dia tinggal sendiri di rumah mungilnya itu. Tak ada orang yang menjaganya dan membantunya merapihkan semua harta bendanya disana. Tak ada satu pun anggota keluarganya yang dapat menemani dan berbagi cerita, berbagi penderitaan dengannya, dan menghangatkan suasana hatinya yang kesepian setiap harinya di ruang sempit itu. Dia berujar suatu hari pada kami bahwa dia memang terpisah dengan suami dan anaknya saat jaman perang. Dan jadilah dia seorang jompo yang sendiri, merana, dan sudah terbiasa dengan perasaan kesepian.
Sesampainya disana, kami akan mengeluarkan makanan-makanan itu dan menempatkan ke atas piring dan mangkuk. Kegiatan yang sering kami lakukan adalah membuang makanan-makanan basi yang ada di meja makannya. Kami pun heran, kenapa banyak orang yang memberi makanan tak layak makan itu padanya. Rasanya tak tulus memberikan sesuatu. Terkadang kami pun sering sedikit mengomel tidak terima karena ada orang-orang yang tega berbuat seperti itu padanya. Tapi, dengan berluas hati, mbah Idris hanya menenangkan, “Rak popo. Mungkin kelalen nek panganane wis basi.” Dan kami pun hanya bisa terdiam menanggapi perkataannya itu. Kami tahu itu adalah kalimat yang dia pakai untuk menenangkan kami dan juga dirinya sendiri tentang kenyataan yang ada. Kenyataan dimana dia dianggap remeh oleh orang lain.
Setelah membiarkan mbah Idris menyantap makanan-makanan itu, kami pun akan berlari ke lapangan hijau kami dan melakukan ritual-ritual konyol kami. Berguling-guling di hamparan rumput itu dan mencari belalang. Rumputnya selalu sangat hijau. Rumput-rumputnya nampak sedikit basah dan para belalang nampak sangat gembira untuk menghinggapi setiap helai batang rumput disana. Kami selalu membawa sebuah kantong plastik untuk menempatkan belalang yang kami tangkap di lapangan itu. Puluhan belalang akan kami dapatkan dalam beberapa menit saja. Hal itu selalu jadi kenangan masa kecil yang manis dan membuatku tersenyum ketika aku beberapa saat yang lalu melintasi lapangan itu. Bahkan sampai dengan detik ini. Serasa bereuni dengan masa kecil bersama dua sahabat kecilku itu. Sering kali perasaan sedikit menyayangkan datang menghinggapiku karena aku kini mendapati rumput-rumput disana sudah tak sehijau dulu.
Kekagumanku pada mbah Idris adalah kekuatannya untuk bertahan hidup di tengan kondisinya yang serba memprihatinkan. Tapi, dia tak pernah menampakkan kesedihannyanya di depan siapa pun. Bahkan pada kami. Dia tidak pernah mengeluh. Dia hanya sering bercerita tentang masa lalunya bersama keluarganya dan berbagi cerita tentang jalan hidup yang harus dia lalui, jalan hidup yang mengharuskan dia untuk hidup sendiri di masa tuanya. Di saat dimana dia menginginkan adanya orang-orang terkasih yang dapat menemaninya. Bertemu dengan suami dan anak tercintanya, berbagi kasih sayang dengan anak dan cucunya, dan diperhatikan oleh anggota keluarganya. Kehangatan yang dia inginkan sebenarnya bukan hanya kehangatan yang dia dapat dari selimut tebal dan rumah yang nyaman, tetapi dia juga membutuhkan kehangatan berupa kebersamaan dengan anggota keluarga.
Dia memang tidak banyak bicara. Tapi, ekspresinya sering terlihat sedih. Lalu, kemudian dia bercerita tentang kisah terdahulunya bersama anggota keluarganya. Hal itu lah yang membimbingku untuk mengetahui bahwa dia sebenarnya merindukan kehangatan bersama anggota keluarganya. Garis-garis wajahnya yang sudah keriput makin membuat hatiku iba.
Satu hal yang selalu kuingat juga adalah ketika dia mendapatkan makanan dari orang lain yang mungkin akan aku sukai dan dua sahabatku sukai, dia akan datang ke rumah kami dengan naik becak. Suatu hari, dia pernah datang ke rumahku untuk sekedar memberiku sekotak biskuit yang dia dapat dari seseorang. Dia datang ke rumahku tanpa masuk ke dalam rumahku. Dia selalu datang hanya untuk mampir dan memberiku sesuatu. Dia tidak pernah turun dari becaknya karena dia memang sudah tidak bisa berjalan. Dia hanya menyuruh sang tukang becak untuk mengetuk pintu rumahku. Dia datang hanya untuk memberikan sesuatu yang dia dapat dan aku sukai. Sering kali aku menyambut kedatangannya dengan sedikit berteriak karena girangnya. Aku senang bukan karena pemberiannya, tapi kedatangannya. Bahkan, sering kali aku menolak pemberiannya, “Buat mbah aja biskuitnya.” Tapi, dia datang memang untuk memberikan apa yang aku suka dan memaksaku untuk menerimanya.
Dia sering melakukan itu jika dia mendapatkan makanan yang menurutnya enak dan yakin aku akan menyukainya. Dia, yang dapat bertahan hidup hanya dengan mengandalkan pemberian dari orang lain, rela memberikan makanan enaknya padaku dan sahabatku yang lain. Jarang ku temui orang dengan ketulusan besar sepertinya saat ini. Di tengah kondisinya yang terbatas, bahkan bisa dikatakan sulit, dia selalu mengingatku, mengingat kami. Mengingat untuk berbagi sesuatu dengan sahabat-sahabatnya.
Hanya sebungkus, sekotak biskuit yang menurutku memiliki arti yang luar biasa. Bahkan sering kali, biskuit-biskuit itu dibungkus dengan plastik bekas yang sudah lusuh. Tapi, perasaan yang ada karena kenangan itu tak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata secara gamblang. Tapi, yang kuingat dan kurasakan sampai saat ini adalah kasihnya dan ketulusannya. Mamaku sudah ratusan kali berkata padanya bahwa lebih baik makanan-makanan itu untuknya saja dan tak usah repot-repot datang. Kami memang tak tega melihatnya. Akan lebih baik kami saja yang datang mengunjunginya. Tapi, tukang becak yang biasa mengantarnya berkata, ‘Ngeyel bu, jarene kangen adek.’ Dan kami pun tak bisa melarangnya. Dia selalu melakukannya ketika dia mendapatkan makanan yang menurutnya enak dari seseorang.
Atau bahkan terkadang dia membawa satu plastik beras untuk kami. Beras, yang dia dapat dari orang lain dan mungkin sangat berguna baginya untuk keberlangsungan hidupnya, dia bagikan pada kami. Dia mungkin ingin berbagi sesuatu yang baginya penting dengan sahabat-sahabatnya.
Beberapa tahun lalu, setelah mamaku tiada, aku dan papaku datang mengunjunginya. Ke rumah mungilnya. Hanya rasa terkejut yang kami dapat karena seorang tetangganya berkata kalau dia sudah tiada beberapa waktu lalu. Dan kami tak tahu kabar itu. Mungkin karena umurnya yang sudah tua dan aku yakin itu yang terbaik buatnya. Menyesalkan karena kami tak bisa mengantakannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Buatku, selalu ada ruang di hati untuk mbah Idris. Sebuah ruangan berisikan kenangan manis dan berharga akan sebuah persahabatan, persaudaraan, dan ketulusan. Beliau telah menjadi guru yang berharga dalam kehidupan. Melakukan segala sesuatu dengan hati yang tulus, tanpa mengharapkan suatu pamrih. Melakukan hal terbaik yang bisa dia lakukan walaupun di tengah keterbatasannya. Dan tidak pernah ada perasaan mendendam pada orang-orang yang berbuat kurang menyenangkan padanya. Selalu ada cinta dan kasih bagi orang-orang yang memperhatikannya dengan caranya masing-masing.
Aku dan dua sahabatku itu selalu bersyukur, pernah dipertemukan dengan seorang mbah Idris. Bahkan, aku bangga karena aku yakin tidak semua anak punya sahabat tua sepertinya. Dengan sepaket ketulusannya, aku juga yakin dia akan bertemu sepaket kebahagiaannya di surga. Aku berharap dia akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari sekedar kebahagiaan yang dia dapat di dunia.
‘…..yang t’lah kau buat sungguhlah indah, buat diriku susah lupa…..’ (Kahitna)
Terima kasih Mbah Idris…. Kami menyayangimu….
(Inspired by a true story about a great best friend, Mbah Idris, yang sering memberiku sekotak biskuit tanda kasihnya.)
No comments:
Post a Comment