Malam itu hanya ada gelap. Hanya ada sedikit cahaya di ruangan itu. Meja terbentuk melingkar dengan hanya dihiasi cahaya lilin dan sorot lampu dari lampu remang-remang di ruangan itu. Penyanyi wanita yang melantunkan lagu bertemakan kerinduan serasa mengisi ruangan itu dengan suasana hampa. Yang sangat terasa saat itu hanyalah suara piano dan alunan suara indah sang penyanyi bergaun kuning mengkilat itu.
Hanya ada aku, dia, dan teman wanitanya. Dan kami pun hanya mengobrol, menghabiskan makan malam kami, dan sibuk mendiskusikan musik serta lirik yang dilantunkan penyanyi wanita itu. Hanya antara aku dan dia. Karena aku menangkap teman wanitanya itu sama sekali tidak tertarik pada segala yang kami bicarakan. Semburat raut jengkel di parasnya yang rupawan jadi petunjukku. Aku pun berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain sekitar kegiatan sehari-hari yang kami lakukan. Aku pun memulai dengan menanyakan seputar kesibukan teman wanitanya itu. Dia pun mulai menjawab walaupun dengan wajah dan nada yang penuh keengganan. Selanjutnya, kutanyakan kabar pacarnya. Dan dia pun bercerita tentang pacarnya yang bekerja di luar kota pada saat itu.
Suasana mulai terasa terbaiki. Serasa terbalik dengan suasana yang tercipta seketika karena aku sudah tahu fakta bahwa dia adalah kekasihnya. Berkebalikan secara terbuka hanya untuk menciptakan suasana kebenaran. Satu pelajaran yang kudapat dari ketidak jujuran yang terjadi di depan mataku. Aku tahu. Dan aku rasa. Dan yang lainnya adalah aku tahu ada jenis manusia yang terbentuk seperti ini. Wanita yang duduk di depanku itu adalah kekasih dari kekasihku.
Hanya ada rasa ambigu harus bertindak mengungkap ketidak jujuran, membiarkan dan hanya berucap doa agar kebenaran akan dimenangkan, atau berdiam dan ingin menertawai segala kebohongan itu sebagai pertanda aku tahu apa yang kau tak tahu. Aku rasa apa yang kau tak rasa. Aku mengira apa yang tak kau kira. Mereka berbuat dan berkata kebalikan di depanku. Rasanya ingin menggenggam kuat-kuat gelas yang ada di depanku dan melemparkannya.
Lagu bertemakan kerinduan itu berakhir dan kini sang penyanyi wanita itu beralih memainkan pianonya ke nada-nada ceria dengan lagu-lagu bertemakan jatuh cinta. Aku serasa mati rasa oleh lagu itu. Yang kurasakan adalah pengkhianatan dan perasaan jatuh cinta serasa dipadamkan olehnya. Wanita itu terus menceritakan tentang pacarnya itu. Dan yang lebih menyakitkan adalah kekasihku seolah ikut bercerita. Jika diandaikan, perasaan dan kondisiku pada saat itu bagaikan di medan perang, dimana aku menahan luka di dadaku. Tidak membiarkan musuhku tahu kondisiku yang sebenarnya. Rasanya akan jauh menjadi pemenang.
Malam berikutnya, kukirimkan mawar hitam buat kekasihku. Dan kusematkan sebuah note yang kutulis dengan hati yang sudah tertata. Sangat tertata. Bertuliskan, “Aku hanya ingin kau jadi temanku sekarang. Aku menghargai apa yang kita lalui selama ini. Terima kasih untuk segalanya.” Tanpa mengatakan bahwa aku tahu semuanya. Dengan cara itu, aku ingin mundur dari opera sabun itu. Aku juga tak mengingkan diriku akan memakai topeng terus menerus. Menyaksikan ketidak jujuran. Dan aku tak pernah menginginkan sebuah jalinan yang begitu bentuknya.
Dia tak pernah mengusahakanku, membuktikan bahwa dia memang benar. Karena dia memang berkata segala tentang kebalikan. Dia terus mengatakan bahwa dia hanya memilikiku. Wanita itu lah yang menggilainya. Dia tak pernah datang untuk membenarkan segalanya. Dia hanya menyalahkanku dan makin membuatku kecewa dengan berkata bahwa aku lah yang menyakiti dan berbuat tidak baik padanya. Makin banyak mengatakan segala tentang kebalikan. Yang dia lakukan sekarang hanya menyakiti dan menggeramiku. Membuatku makin kecewa. Makin kecewa karena ketidak jujurannya dan ketidaksetiaannya.
Tak pernah menyesal akan semua kejadian itu. Akan selalu ada pelajaran berharga di balik semua kisah, kata seorang sahabat. Bersugestikan bahwa dia memang bukan pujaan dalam hatiku. Dan Tuhan tahu itu. Dia tahu apa yang aku butuhkan. Sebuah pelajaran hidup.
Mengundurkan diri menjadi aktris dalam opera sabun itu tidaklah semudah mengirimkan surat pengunduran diri kepada atasan. Malam setelah kukirimkan mawar hitam itu serasa ambigu untuk dideskripsikan. Waktu ambigu itu kuhabiskan untuk mendengarkan lagu-lagu dari penyanyi wanita yang bernyanyi di malam penuh ketidakjujuran pada malam itu. Lantunannya pun serasa memenuhi seluruh ruangan,
“Semua tentang kebalikan.
Terlukis, tertulis, tergaris di wajahmu.
Kau sakiti aku, kau gerami aku,
Kau sakiti, gerami, kau benci aku….
Tetapi esok nanti kau akan tersadar.
Kau temukan seorang lain yang lebih baik.
Dan aku kan hilang, ku ‘kan jadi hujan.
Tapi takkan lama, ku ‘kan jadi awan….”
(Terinspirasi dari ‘Mesin Penenun Hujan’ oleh Frau)
1 comment:
This was great tto read
Post a Comment