Sore ini, aku kembali mengintip berbagai buku yang berjajar di rak bukuku. Rak buku yang merupakan benda mati dalam kamarku yang selalu jadi kebanggaanku. Dia berdiri kokoh berdampingan dengan jendela kamarku yang bertirai kain cokelat tua. Rak itu berwarna cokelat dengan tujuh tingkat. Di setiap tingkatnya selalu penuh dengan koleksi bukuku dari mulai non-fiksi sampai fiksi. Jarang orang lain mendapati setiap sisinya berdebu. Aku memperlakukannya seperti sebuah berlian dalam kamarku. Mengelap setiap sisinya dengan kain menjadi sebuah kegiatan yang tak pernah membosankan. Aku merapihkan dan membersihkannya setiap hari. Tapi, kali ini aku hanya ingin melihat-lihat saja.
Sering kali aku menghabiskan waktu dengan membuka atau membaca setiap halaman buku-buku itu. Seperti layaknya mencari moment paling berharga, kursi di pojok ruangan dan menghadap ke jendela merupakan sudut yang paling strategis untuk menyapa para sahabat, halaman-halaman buku koleksiku. Dengan ditemani segelas moccachino panas, semuanya akan nampak sempurna.
Ada satu buku yang akhir-akhir ini kuhindari untuk membacanya, bahkan menyentuhnya. Bukan karena kotor, bau, atau alasan apapun itu. Tapi, rasanya benda itu cukup diam saja di rak bukuku. Buku itu kuletakkan di bagian teratas sehingga mataku akan sangat jarang menangkap kemunculannya. Jadi, keinginanku untuk menyentuh, mengambil, membuka, dan membacanya akan sangat jarang pula menghinggapi hati.
Kali ini berbeda. Entah ada makhluk apa yang membisikiku. Aku tiba-tiba ingin mengambil dan membukanya. Benar saja, dia yang sudah lama kutinggalkan kuambil dari tempat persembunyiannya. Kini, dia ada di genggamanku. Buku itu bercovernya cokelat tua, motifnya etnik, setiap lembar buku itu juga berwarna cokelat, tapi cokelat muda. Designnya memang design pesananku sendiri. Di halaman depannya, tertulis sebuah nama, ‘Sandhira’. Namaku. Di bawah nama itu tertulis, ‘…and the stories will be started say by day….’
Dan dia adalah sebuah buku tuaku. Banyak hal dapat diketahui dengan membaca tiap halamannya. Layaknya membaca banyak kisah. Kadang kita bisa tersenyum, terpingkal, mengernyitkan dahi, atau menghela nafas panjang, dan kemudian menutup buku itu saja. Banyak sensasi yang dapat dirasakan.
Di dalamnya bukan hanya ada goresan-goresan tinta, banyak gambar, atau bahkan foto-foto yang diambil bertepatan dengan digoreskannya tinta-tinta itu. Bukankah setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri untuk mengabadikan dan menghargai sebuah kejadian? Sepertinya cara yang satu ini adalah salah satu jawabannya.
Walaupun aku sudah memberanikan diri untuk membukanya, aku masih enggan untuk membaca tiap barisnya. Rasanya hanya ingin menengoknya saja. Apakah setiap halamannya ada yang rusak, apakah kertasnya kotor.
Tapi, kali ini aku menginginkan sebuah pelatihan jiwa. Rasanya ingin menguji apakah diriku dan hatiku sudah mulai berani untuk menengok setiap halaman dalam buku tua itu. Jika memang iya, bersyukurlah diriku. Tapi, jika sebaliknya, aku menginginkan hatiku segera terbiasa. Dengan sering menengoknya, menginginkan hati terbiasa untuk memiliki perasaan yang tak terlalu terlarut ataupun mendalam terhadap kenangan-kenangan yang tak mengenakkan yang tertulis dalam buku itu. Diriku selalu mengharap bahwa kenangan-kenangan indah yang terekam dalam setiap ejaan kata dalam buku itu mampu mengobati segala bentuk ketakutan serta segala penyakit hati.
Goresan-goresan tinta yang mendeskripsikan segala kejadian yang mampu membuat rongga hati terasa sejuk dari sahabat-sahabat membuatku mampu membacanya berkali-kali. Dan hanya ada gelak tawa, senang, bercampur rasa haru. Halaman-halaman itu jadi favoritku. Ketika membaca tiap katanya, aku selalu berusaha melayangkan pikiranku untuk kembali pada saat-saat itu. Pikiranku bagaikan mencari file-file yang sudah lama tak terbuka. Membuka dan memutar baliknya. Dan kemudian, menikmati sensasinya. Halaman-halaman itu paling berharga yang ada disana. Pasti jadi juaranya di hati.
Sampai akhirnya aku sampai pada halaman-halaman yang kertasnya saling merekat karena sangat jarang kubuka. Beberapa kali aku menengoknya, membuka, dan membacanya. Tapi, kemudian aku bahkan berusaha untuk merekatkan halaman-halaman itu lagi. Isi dan para pencipta goresan tinta di dalamnya seperti menciptakan sebuah cerita misteri. Selalu membuat diri menjadi takut dan hilang dari gelak tawa. Yang ada mungin penyempitan ruang dada, keterbatasan pernapasan, dan hujan maupun gerimis dimana-mana.
Terkadang, jika aku sudah tak mampu menahan semua tekanan dan sesak yang ada di hati, mata tak lagi mampu menahan air mata yang menahan dirinya untuk tak jatuh dari permukaan mata, pipiku akan membasah. Dan sebuah tangisan tak dapat dicegah kedatangannya.
Karena tak mau lagi merasa pilu, aku pernah memutuskan untuk merobek halaman-halaman yang menyeramkan itu. Tak mau lagi menengok apalagi membacanya. Tapi, ide itu tak juga pernah terealisasi sampai dengan detik ini. Aku selalu memikirkannya kembali. Menimbang apakah yang kulakukan berlebihan atau tidak.
Hingga aku menyadari sesuatu. Sebuah nilai dan makna. Halaman rekat itu melengkapi buku tua itu. Buku tua itu tidak akan menarik mungkin jika hanya membuatku tersenyum dan terpingkal. Sensasinya monoton karena sejenis. Aku bahkan mungkin tak akan mampu menggoreskan tintaku dengan segala hal yang menyenangkan hati di halaman-halaman akhir buku tua itu jika aku tak memiliki halaman-halaman yang rekat itu.
Tapi, pada akhirnya, kali ini, aku memutuskan untuk melipat halaman-halaman itu. Kuurungkan niatku untuk merobeknya. Tidak membaca tulisan-tulisan di dalamnya akan jauh lebih baik kurasa. Sepertinya.
Akan tetap ada halaman itu.
Entah itu direkatkan atau dirobek.
Karena dengan merekatkan, aku hanya tak ingin melihatnya.
Dan dengan merobeknya, aku hanya berusaha melupakan.
Tapi, dibuku tuaku tetap akan ada bekas robekannya.
Dan segala masa lalu yang tersimpan di dalamnya…..
Tentangku….
Tentangnya….
Dan tentang mereka…..
1 comment:
Interesting post, I enjoyed read this.
Post a Comment