Aku datang dengan tiba-tiba. Tapi, menanti langit berubah menjadi kelam. Kadang rembulan menemaniku dan kadang dia membiarkan aku muncul sendirian. Dan malam ini, aku datang sendirian karena rembulan sedang enggan untuk mengeksiskan diri di langit yang kelam. Tanpa ada yang mengantar dan melepas kepergian. Hanya ada aku yang muncul. Tanpa ada yang lain.
Dia dapat melihatku berada di langit sebelah barat. Aku tahu makhluk satu ini mengagumiku. Setiap malam memandangiku tanpa jemu. Pandangannya tak pernah bisa membohongiku. Dia menyukai sinarku. Dan karena tak ada yang lain yang menemaniku menari di hamparan langit malam ini, aku menjadi beribu kali lipat lebih mempesona dan istimewa.
Dia sering datang di bukit itu setiap seminggu sekali. Berbaring di hamparan rumput dan memandangi langit sepuas-puasnya. Menikmati momen itu dengan cara dramatis yang dia reka dan cipta sendiri. Dan di kala itu, aku juga tahu dia sering memikirkan sesuatu. Tapi, aku tak pernah tahu itu apa. Terlalu sulit untuk membaca setiap ekspresi-ekspresi yang dia ciptakan. Terlalu jauh untuk menjangkau rupanya. Dia nampak begitu jauh. Dia tak terjangkau. Begitupun dia, dia juga tak dapat menjangkauku.
Setiap kali dia datang, wajahnya selalu nampak seperti benang kusut. Seperti kehilangan semangat. Raut-raut wajahnya seperti lepas satu persatu dari pola bahagia. Helaan nafasnya juga jadi petunjukku untuk mendeteksi perasaannya.
Tapi, setelah dia melihat hamparan rumput luas yang ada di depannya dan kemudian merelakan tubuhnya untuk rehat sejenak di atasnya, aku tahu dia mencariku. Setelah dia memandangi langit dan menemukanku, aku tahu ketidakenakan hatinya akan terpupus sedikit demi sedikit. Bibirnya mencipta sebuah simpul. Simpul pertanda sebuah senyuman. Senyuman bahagianya. Dan raut-raut tanda ketidakbahagiaan hilang entah kemana.
Beberapa saat akan menjadi momen dimana dia bahagia karenaku dan aku tahu itu. Tapi, setelah perasaannya cukup tenang dengan memandangiku, dia akan pergi begitu saja. Tapi, aku tahu dia akan selalu datang kembali.
Aku bukan kembang api, yang melepaskan dan membebaskan diri dengan menggebu-gebu, baru kemudian keindahannya yang luar biasa mempesona akan nampak di langit kelam. Aku kecil. Dan cahayaku tak sedahsyat kembang api yang menari-nari di langit dengan indahnya. Pesonaku sederhana karena aku hanya mampu mengedip. Dengan cara begitulah cahayaku selalu tampak mempesona. Mengedip perlahan dan tenang.
Dan karena aku adalah bintang sekedip….
(Terinspirasi dari ‘sebuah pesta kembang api’)
No comments:
Post a Comment