Sudah terlalu lama aku menyimpan nama itu dalam kenanganku. Sedikit menyesalkan karena aku sedikit melupakan kisahku bersamanya. Orang yang tulus…yang biasa ku panggil ‘Mbah Idris’. Dia tak punya hubungan darah denganku. Tapi, sayangnya padaku sangatlah besar. Aku menempatkan dia sebagai seorang sahabatku, bahkan sudah ku anggap sebagai nenekku. Yang telah memberikan aku sebuah pelajaran berharga tentang sebuah ketulusan.
Sedikit bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu aku melihat sebuah film Korea yang berjudul ‘The Way Home’ mungkin kalian pun pernah melihatnya. Sebuah kisah tentang nenek dan film itu memang dihadiahkan untuk para nenek. Dan film itu mengingatkanku pada 2 orang dalam hidupku, nenekku dan Mbah Idris. Memang tak seperti nenekku yang bahkan ketika sedang sakit parah masih melakukan hobi membacanya. Dia bungkuk, sulit berjalan, sedikit berbicara, tapi tulus hatinya. Secara fisik mengingatkanku pada Mbah Idris. Film ini yang membuatku membuka dan membaca lagi halaman-halaman di buku kenanganku yang sekian lama tersimpan di dalam hati dan pikiranku.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 menit untuk sampai ke rumahnya dengan menggunakan sepeda ketika aku berumur 8 tahun. Aku sering ke rumahnya bersama 2 sahabat kecilku, mas Damar dan mbak Ucik. Kami selalu menjadi kurir bagi mama kami untuk mengantarkan makanan untuk mbah Idris di sore hari. Dengan sekuat tenaga kami mengayuh sepeda. Selalu bersemangat untuk mengantarkan makanan karena kami juga mengharapkan sebuah imbalan yang menurut kami sangat menyenangkan pada saat itu, yaitu dapat bermain di sebuah lapangan berumput hijau yang terletak di depan rumah mbah Idris. Rumputnya selalu sangat hijau. Kami selalu membawa sebuah kantong plastik untuk menempatkan belalang yang kami tangkap di lapangan itu. Ritual berguling-guling di hamparan rumput itu pun harus kami lakukan setiap kali kami berkunjung kesana, kecuali ketika hujan turun. Mama kami pasti akan berwajah masam ketika kami pulang dengan dekilnya.hehe….
Sesampainya kami di rumah mbah Idris, kami akan melihat sebuah rumah kecil yang menempel dengan dinding sebuah pondok pesantren. Rumahnya sangat kecil. Jauh dari kata layak. Mungkin hanya berukuran 2 x 3 meter. Dinding-dindingnya terbuat dari papan yang aku yakin itu bahkan tak bisa melindungi tubuhnya dari dinginnya malam. Semua barang-barangnya tak tertata rapih karena memang dia tak memiliki ruang yang cukup untuk meletakkan semua harta bendanya. Dia tinggal sendiri di rumah mungilnya itu. Dia berujar suatu hari pada kami bahwa dia memang terpisah dengan suami dan anaknya saat jaman perang. Dan jadilah dia seorang jompo. Yang akan kami lihat setiap kali kami datang adalah seorang nenek tua yang sudah tak bisa berjalan sedang duduk di kursi kecilnya yang dia letakkan di depan pintu rumahnya. Dan dia selalu mengembangkan senyumnya untuk menyambut kedatangan kami. Kami pun turun dari sepeda, berlari tergopoh-gopoh membawa plastik makanan ke arahnya dan berteriak, ‘ Mbah Idriiiiiiiissssss……..’
Sesampainya disana, kami akan mengeluarkan makanan-makanan itu dan menempatkan ke atas piring dan mangkuk. Kegiatan yang sering kami lakukan adalah membuang makanan-makanan basi yang ada di meja makannya. Kami pun heran, kenapa banyak orang yang memberinya makanan tak layak makan itu padanya. Rasanya tak tulus memberikan sesuatu. Setelah membiarkan mbah Idris menyantap makanan-makanan itu, kami pun akan berlari ke lapangan hijau kami dan melakukan ritual-ritual konyol kami. Berguling-guling di hamparan rumput itu dan mencari belalang. Hal itu selalu jadi hal yang manis dan membuatku tersenyum ketika aku beberapa saat yang lalu melintasi lapangan itu. Bahkan sampai dengan detik aku menulis kisah ini. Serasa bereuni dengan masa kecil bersama dua sahabat kecilku itu. Sedikit menyayangkan karena rumput-rumput disana sudah tak sehijau dulu.
Kekagumanku pada mbah Idris adalah kekuatannya untuk bertahan hidup di tengan kondisinya yang serba memprihatinkan. Tapi, dia tak pernah menampakkan kesedihannyanya di depan siapa pun. Bahkan pada kami. Satu hal yang selalu ku ingat juga adalah ketika dia mendapatkan makanan dari orang lain yang mungkin akan aku sukai dan 2 sahabatku sukai, dia akan datang ke rumah kami dengan naik becak. Suatu hari, dia pernah datang ke rumahku untuk sekedar memberiku sekotak biskuit yang dia dapat dari seseorang. Dia sering melakukan itu jika dia mendapatkan makanan yang menurutnya enak dan yakin aku akan menyukainya. Jarang ku temui orang dengan ketulusan besar sepertinya saat ini. Di tengah kondisinya yang terbatas, bahkan bisa dikatakan sulit, dia selalu mengingatku…mengingat kami….mengingat untuk berbagi sesuatu dengan sahabat-sahabatnya. Hanya sebungkus, sekotak biskuit yang menurutku memiliki arti yang luar biasa. Tak bisa ku ungkapkan sengan kata-kata secara gamblang. Tapi, yang kuingat dan kurasakan sampai saat ini adalah kasihnya dan ketulusannya. Mamaku sudah ratusan kali berkata padanya bahwa lebih baik makanan-makanan itu untuknya saja dan tak usah repot-repot datang. Kami memang tak tega melihatnya. Tapi, tukang becak yang biasa mengantarnya berkata, ‘Ngeyel bu….jarene kangen Dek Resty…..’ kami pun tak bisa melarangnya. Dan dia selalu melakukannya ketika dia mendapatkan makanan yang menurutnya enak dari seseorang.
Beberapa tahun lalu, setelah mamaku tiada, aku dan papaku datang mengunjunginya. Ke rumah mungilnya. Hanya rasa terkejut yang kami dapat karena seorang tetangganya berkata kalau dia sudah tiada beberapa waktu lalu. Dan kami tak tau kabar itu…. Mungkin karena umurnya yang sudah tua dan aku yakin itu yang terbaik buatnya. Menyesalkan karena kami tak bisa mengantakannya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Buatku, selalu ada ruang di hati buat mbah Idris. Sebuah ruangan berisikan kenangan manis dan berharga akan sebuah persahabatan, persaudaraan, dan ketulusan. Beliau telah menjadi guru yang berharga dalam kehidupan. Melakukan segala sesuatu dengan hati yang tulus, tanpa mengharapkan suatu pamrih. Melakukan hal terbaik yang bisa dia lakukan walaupun di tengah keterbatasannya. Aku dan dua sahabatku itu selalu bersyukur, pernah dipertemukan dengan seorang mbah Idris. Bahkan, aku bangga karena aku yakin tidak semua anak punya sahabat tua sepertinya. Dengan sepaket ketulusannya. Aku juga yakin dia akan bertemu sepaket kebahagiaannya di surga.
‘…..yang tlah kau buat sungguhlah indah, buat diriku susah lupa…..’
Terima kasih mbah Idris…. Kami menyayangimu…. ^^
(Inspired by a true story about a great best friend, Mbah Idris, yang sering memberiku sekotak biskuit tanda kasihnya.)
No comments:
Post a Comment